Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan
Saya sangat meyakini hal yang demikian itu.
Pernah satu ketika ketika akan pulang ke Jakarta dari Bogor. Saya sudah siapkan semua yang perlu dibawa, termasuk laptop. Waktu itu saya dipinjami Toshiba milik kakak yang lumayan berat dibawa-bawa. Setelan necis dan hp di kantong jeans (ini supaya saya mudah bersms-an ria dengan kawan-kawan).
Sampai di stasiun Bogor saya mengantri di pembelian karcis Ekonomi-AC (belum ada CommuterLine). Dari awal saya naik Ekonomi-AC, seringkali naik Pakuan Express. Karcis sudah di tangan dan saya menunggu datangnya mesin bermuatan yang akan membawa saya ke ibukota.
1 jam berselang…saya masih disini, menunggu..sampai dua jam berlalu ternyata ada trouble di stasiun Manggarai. Semua yang berkarcis Ekonomi-AC sudah memutuskan menukarkan dengan tiket Ekonomi dan mereka sudah sampai “mungkin” di tujuannya. Saya? sabar yang hanya diam ini ternyata…tidak kunjung ada hasil.
Dan…
Saya sudah ada di gerbong ekonomi. Subhanallah itu padetnya kaya lemper :D dan lagi..saya berdiri dengan bebawaan seperti itu. Badan hanya bisa dalam satu posisi mematung dengan gaya “bergandul” dan yang pasti saya “ngedumel”.
Tapi ya mo bagaimana lagi, itulah posisi dan situasi yg sedang saya hadapi, pilihannya satu: BERTAHAN saja.
Sampai di stasiun Depok saya mulai bisa berdamai dengan keadaan. Dan saya perhatikan satu-persatu wajah-wajah “pengejar tujuan” yang satu atap dengan saya saat ini. Lusuh, berkeringat, berat menahan bawaan, dan banyak lagi macam-macam raut yang saya tangkap.
Saya terus asik memperhatikan orang-orang ini. Banyak pertanyaan di kepala saya, “bapak ini mau kemana ya?”, “ibu itu di tas anyamannya ada apa ya?”, “apa yang ada di pikiran mereka dengan situasi padat ini ya?”, “berapa uang yang mereka dapat dengan pekerjaan mereka itu ya?”
Jawabannya satu: “Mau tau aja loh pie!!!”
Di kepadatan yang sesak itu terjadi pergerakan berarti, saya masih belum tau sebabnya. Saya hanya mendengar pekikan bapak tua, “ngga..mangga..manggaaa..”
Bapak itu bukan bermaksud bilang “permisi” (dalam bahasa sunda) tapi beliau berjualan mangga di atas kereta. Lengkap dengan keranjang yang disusun tinggi dan diberi roda di bagian bawahnya supaya mudah didorong dari satu gerbong ke gerbong lain.
Tidak lama berselang ada pekikan suara orang bernyanyi diiringi musik seadanya yang menghasilkan melodi apik (buatku). Tapi aku salut sama mereka, biarpun muka garang, tindik dan tato dimana-mana tetap saja sebelum mendendangkan lagu mereka pasti bilang, “Permisi bapak-ibu kami disini akan membawakan beberapa lagu untuk menemani perjalanan Anda sampai ke tujuan. Sebelumnya mohon maaf jika kami mengganggu tidur Anda sekalian”
:D
Dan keadaan kian berhimpit dan makin pengap, para pencari rejeki ini tidak henti melakukan tugasnya demi mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Disitu ada pelajaran yang aku tau,
ternyata di sekecil apapun ruang dan waktu, ada sela kehidupan yang bisa menghidupi satu bahkan lebih manusia.